Wednesday, October 22, 2008

Tanah yang Tidak Hijau Lagi

Oleh JOHANNES SINULINGGA

FILM dokumenter berjudul ” Tanah Terahkir” yang diambil dari masyarakat Dayak Ntuka di pedalaman kalimantan barat. Sebuah karya Rahmawati dan Esti Asmalia. Film dapat menggambarkan perusakan alam oleh manusia sendiri yang tanpa disadari menimbulkan suatu bencana.Film ini adalah realitas kehiduapan manusia yang terjadi dibanyak tempat.

Manusia sadar setelah semuanya hancur

Suku Dayak yang dulunya hidup dari berladang, berburu dan menambang secara tradisional. Mereka terbiasa hidup sederhana. Cerita berubah ketika modereniasi datang ke wilayah mereka. Kini mereka lebih lebih tertarik menebang pohon di hutan untuk dijual kepada cukong-cukong kayu.

Ironisnya, mereka tidak bertambah makmur walau sudah menebang habis hutan. Anjol contohnya. Tokoh dalam film ini, menebang habis pohon di tiga bukit dan tiga sungai. Uang dari pohon, Anjol jual dengan harga yang rendah. Anjol ditipu oleh cukong kayu. Alhasil dari pohon yang banyak itu hanya DVD Player, prabola, generator,dan mesin pemotong kayu yang diperoleh. Celakanya, barang-barang itu tak dapat digunakan kala mati lampu.

Film ini, memberikan gambaran yang kuat tentang pola pikir yang salah dalam mengelola sumber daya alam. Pendidikan yang rendah, membuat masyarakat Dayak Ntuka mudah dipermainkan dan ditipu. Begitu pula pemerintah, tampak lemah untuk melindungi warganya dari praktek seperti itu.

Akhirnya film ini secara tidak langsung mengajak kita seluruh masyarakat indonesia agar berani bersuara dan bertindak ketika melihat alam kita dirusak.

Mari kita lestarikan dan jaga alam negeri kita ini.***


Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Sastra Inggris Universitas Methodist Indonesia.


Antara "Bumi Manusia" Pram dan "Tanah Terakhir"

KEMARIN terpikir olehku tentang Tetralogi Pulau Buru, Pramodeya Ananta Toer. Kenapa orang cenderung suka Bumi Manusia dibanding dengan buku 2/3/4 (anak semua bangsa dan rumah kaca) ?

Menurutku selain karena Bumi Manusia adalah buku yang pertama kali terbit juga karena buku ini menceritakan sejarah sekaligus konflik pribadi si pemeran utama (Minke).Jadi, disini melibatkan emosi pembaca. Sedangkan dalam buku 2/3/4 lebih ke kronik sejarahnya lebih kental, sehingga pembaca agak sedikit jenuh.

Nah, kemudian terpikilah tentang "Tanah Terakhir", sebagai film dokumenter tanah terakhir berhasil mengemas emosi pelaku utama (seperti terlihat pada kekecawaan Datuk Duli pada Anjol). Disinilah, letak nilai lebihnya, emosi penonton ikut terlibat, misalkan ikut kesal pada Anjol (anak2 juga bilang kesal dgn Anjol). Ini juga yang membedakan dengan film lain, intinya "Tanah Terakhir" bisa menjauhkan kesan film dokumenter yang cenderung serius dan agak 'menjenuhkan'.

format seperti ini bagus untuk propagandis ( tentu melalui keterlibatan emosi penonton).
Ini yang kemerin terlewat...

oh ya..jadi ingat juga tentang rencana kelompokmu bikin film "Tragedi Santa Cruze" pas Cefil, hehehe...

Yo wis...ini saja

God Bless u

Mufid-Blitar

-----

Dear Mufid –> Ide film Tragedi Santa Cruz itu masih ada kok. Hanya saja, riset nya sulit dan belum ada waktu. Toh rencananya film itu bukan dokumenter, tapi fiksi romantis hehehehe E-

Friday, October 17, 2008

Surat Kedua untuk mu Sahabat Bumi

Resensi untuk film Tanah Terakhir

Oleh DIAN PURBA

SESUATU yang kelihatan atau dapat dilihat mata tidak bisa dipisahkan dari yang tidak kelihatan. Artinya ada sesuatu yang tidak kelihatan dibelakang yang kelihatan.

Mari kita gunakan teori di atas untuk mengapresiasi film sahabat kita: Tanah Terakhir.

Ketika tiga bukit meregang nyawa disayat tajamnya mata rantai chainsaw demi melanjutkan hidup keluarga , ketika sebatang pohon berganti fungsi menjadi alat pembayaran, ketika anak-anak di “negeri merdeka” menganggap menenteng buku dan menulis “Ini budi” sebuah mimpi, ketika anak dan orangtua tidak akur karena hal “sepele”, siapa yang harus disalahkan? Atau siapa yang salah? Atau siapa yang bertanggung jawab.

Kita tinggal di tanah yang sudah dimerdekakan. Kita tinggal di tanah yang sudah didaulatkan. Kita tinggal di tanah yang selalu dipuja orang. Kita tinggal di negeri tempat kelapa menyiur dan ombah menderu. Kita tinggal di tanah undang-undang menjamin semua yang baik untuk warganya.

Tanah Terakhir mewakili semua kenyataan di negeri ini untuk mengatakan TIDAK terhadap semua yang kelihatan baik namun busuk di dalamnya. Kita harus berani berkata tegas: negara gagal.

Inilah yang tidak terlihat mata atau sengaja tidak diperlihatkan. Pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan: semuanya sudah dijamin undang-undang. Tidak ada kompromi untuk itu.

Tanah Terakhir menghadirkan kenyataan pahit itu. Rahma dan Esti sudah membuktikan diri dan berani berdiri menentang semua yang kita anggap selama ini sebagai sebuah kewajaran. Mereka menjadikan kamera sebagai alat untuk tidak selalu menunggu “sang kuasa” bertindak demi bumi. Satu hati selamatkan bumi untuk kehidupan generasi mendatang.

Thursday, October 16, 2008

Hipposideros cervinus, si Kudanil Terbang

Catatan : Komunitas Tanah Terakhir adalah tempat belajar tentang alam dan isinya. Karena itu, blog memuat semua informasi yang berhubungan dengan itu. Kami percaya, dengan mempelajari alam, adalah cara terbaik untuk mememulai menghargai alam dan isinya. E-

Oleh ESTI ASMALIA


KELELAWAR merupakan satu-satunya mamalia yang memiliki kemampuan terbang. Mereka sering dihubungkan dengan dunia kegelapan dan makhluk penghisap darah yang menyeramkan. Mitos ini menjadi salah satu alasan mengapa kelelawar cenderung dianggap sebagai hewan pengganggu, sehingga keberadaannya acapkali terpinggirkan. Padahal dibalik anggapannya sebagai hama, kelelawar ternyata memiliki fungsi ekologis yang tidak kecil. Kelelawar pemakan buah (fruit-eating bats) mendukung pemencaran biji, kelelawar penyerbuk (pollinator bats) ’berjasa’ dalam proses penyerbukan pada beberapa jenis pohon komersial, seperti durian dan kelelawar pemangsa serangga (insectivorous bats) berperan dalam mengendalikan populasi hama.


Ada banyak fakta mengagumkan mengenai kelelawar. Selain kemampuan terbangnya, kemampuan fisiologi tubuh kelelawar juga luar biasa.
Pada musim dingin dikawasan subtropik, kelelawar tidur dan mampu menurunkan laju metabolisme tubuhnya sehingga bisa bertahan hidup tanpa makan; keadaan ini disebut masa dorman. Pada CO2 sebesar 21.000 ppm (50 kali kadar CO2 diudara normal) dan kemampuan amonia sebesar 5000 ppm, kelelawar masih mampu bertahan hidup. Sementara kemempuan manusia untuk bertahan hidup pada kadar CO2 yang sama hanya ¼ nya dan mampu bertahan hidup selama satu jam dalam kadar amonia sebesar 100 ppm saja (Constantine 1970 dalam Suyanto, 2001).

Alat bantu yang memungkinkan kelelawar untuk terbang adalah sepasang sayapnya. Sayap ini sesungguhnya merupakan lembaran otot dan serat elastis berlapis kulit yang digerakkan oleh otot lengan. Otot-otot penggerak sayap ini sama dengan yang digunakan manusia untuk mengepakkan kedua lengannya, namun secara proporsional beberapa kali lebih kuat. Sementara rangka sayapnya merupakan perkembangan dari tangan dan jari-jari tangan. Tulang-tulang lengan dan jari-jari kedua hingga kelima menyangga sayap. Jari pertama berbentuk seperti kuku dan dipakai utuk merangkak, membersihkan diri dan pada spesies tertentu untuk berkelahi dan memegang makanan (Hutapea, 1992).

Kelelawar seperti kebanyakan mamalia berkembang biak dengan melahirkan. Pada kelelawar pemangsa serangga, betina melahirkan dengan kaki keluar terlebih dahulu, sementara mamalia lain kepalanya keluar lebih dulu (Suyanto, 2001). Mereka umumnya adalah monotocous (berkembang biak sekali setahun) dengan masa bunting 3-6 bulan dan melahirkan sepanjang periode 2 – 3 minggu pada awal musim panas (sekitar bulan Juni) ketika ketersediaan pakan melimpah. Biasanya hanya 1 anakan yang dilahirkan. Mereka tumbuh dengan cepat dan mampu mencapai ukuran hampir 90% besar induknya ketika mulai disapih (usia 4 – 6 minggu). Mereka masih terus menyusu pada induknya sampai hampir dua bulan berikutnya. Jika proporsi tersebut dibandingkan dengan manusia dewasa dengan berat 60 kg, maka bayi yang disusuinya seberat 54 kg.

Secara umum, kelelawar (ordo Chiroptera) dibagi menjadi dua sub-ordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Termasuk dalam sub-ordo Megachiroptera adalah kelelawar pemakan buah, kelelawar penyerbuk dan rubah terbang (flying fox), sementara kelelawar pemangsa serangga termasuk dalam sub-ordo Microchiroptera. Selain diet, perbedaan kedua sub-ordo tersebut terletak pada ukuran tubuhnya. Keluarga sub-ordo Megachiroptera relatif lebih besar jika dibandingkan dengan sub-ordo Microchiroptera.

Satu dari sekian banyak kelelawar dari sub-ordo Microchiroptera yang hidup di Indonesia adalah Hipposideros cervinus (Fawn Nose-leaf Bats atau Gould’s Nose-leaf Bats) yang ditemukan pertama kali oleh Gould tahun 1863. Spesies anggota famili Hipposideridae dengan nama lokal Barong Rusa ini tersebar di Australia, Kepulauan Solomon, Afrika, Vanuatu, Filipina, Pulau-pulau di Pasifik, Brunei, Papua New Guinea dan Malaysia. Di Indonesia ditemukan di Sumetera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Pulau Kangean, Pulau Kai, Pulau Bacan, Kepulauan Aru dan Maluku (Suyanto, 2001).

Wajah Hipposideros cervinus sebagaimana layaknya anggota keluarga Hipposideridae lainnya menyerupai kudanil (Hippopotamus). Dari kenampakan morfologi wajah inilah penamaan famili Hipposideridae muncul. Pada jenis Hipposideros cervinus bagian hidungnya terdiri dari lua lipatan kulit lateral yang berwarna merah jambu keabu-abuan dan daun hidung median lebih sempit daripada daun hidung posterior (Payne, 2000). Warna bulu bagian atas pada Hipposideros cervinus dewasa berwarna coklat, pada juvenil berwarna agak kehitaman. Bulu tubuh bagian bawah berwarna lebih pucat sementara telinga berbentuk segitiga lebar dan besar menyerupai telinga kucing. (Anonim, 1997).

Mamalia primitif ini merupakan fauna crepuscular. Mereka aktif setelah matahari terbenam dan menjelang pagi hari. Biasanya mereka keluar dari gua tempat mereka bergantung (roosting) untuk mencari pakan (foraging) dibawah kanopi hutan. Yang termasuk dalam diet mereka antara lain kumbang, rayap, semut dan kecoa. Saat mencari pakan spesies ini sering terbang rendah dekat dengan tanah atau vegetasi yang rapat. (Bonaccorso, 1998).

Lain halnya dengan kelelawar pemakan buah yang indera penglihatannya berfungsi baik, kelelawar pemangsa serangga termasuk didalamnya Hipposideros cervinus tidak menggunakan mata secara maksimal sebagai indera penglihatan. Mereka menggunakan telinga, mulut dan lubang hidung sekaligus sebagai perangkat orientasi yang disebut dengan ekolokasi. Mulut atau lubang hidung kelelawar akan mengeluarkan suara ultrasonik dengan rerata kekerapan 50 kHz. Jika menabrak suatu benda, gelombang ini akan memantul sebagai gema, dengan cara inilah Hipposideros cervinus dan kelelawar pemangsa serangga lainnya dapat mengukur jarak suatu benda. Hal ini yang membuat mereka tidak saling bertabrakan ketika terbang bersama koloninya atau saat mencari pakan pada vegetasi yang rapat.

Status konservasi si ‘kudanil terbang’ ini termasuk low risk (resiko rendah). Meski demikian mereka tetap menghadapi resiko kepunahan lokal akibat aktivitas manusia yang merangsek kedalam habitat asli mereka. Kebanyakan aktivitas manusia terkait dengan kelelawar adalah proses pengambilan kotoran kelelawar (guano) yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Untuk mendapatkan guano orang harus masuk ke gua tempat kelelawar bersarang. Proses pengambilan guano sendiri secara otomatis mengganggu aktivitas kelelawar di habitat alami mereka.

Habitat Hipposideros cervinus adalah hutan hujan primer dan hutan hujan sekunder, tegakan eukaliptus, taman, perkebunan dan daerah pinggiran kota dengan ketinggian rendah sampai pegunungan. Sementara tempat roosting mereka adalah didalam gua dengan kedalaman dangkal sampai sedang, areal penambangan, terowongan, rumah-rumah tua yang kosong dan lubang pohon (Bonaccorso, 1998).

Dalam buku yang bertajuk Biologi Konservasi, Primack et.al (1998) menyebutkan bahwa spesies yang membentuk kelompok secara tetap atau sementara sangat rentan dengan kepunahan lokal, termasuk contoh didalamnya adalah kelelawar. Mereka mencari makan sendiri pada malam hari dan akan menetap pada malam hari secara bersama-sama pada gua yang sama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pengurangan populasi atau bahkan kepunahan lokal jika tempat mereka bersarang terganggu akibat maraknya aktivitas manusia.

Hipposideros cervinus sebagaimana mamalia lainnya tergolong learning animals – terjemahan umumnya adalah hewan yang mampu belajar. Jika habitatnya terganggu, seringkali kelelawar enggan kembali ke sarang mereka selama periode tertentu. Ini yang lantas membuat gua-gua kelelawar seringkali berkurang populasinya selama beberapa waktu setelah proses pengambilan guano. Proses mencari tempat roosting yang baru akan menimbulkan stress tersendiri pada kelelawar. Jika keadaan ini berlanjut maka kelelawar yang trauma tidak akan kembali lagi ke gua dimana mereka bersarang sebelumnya. Ini kemudian yang akan memicu terjadinya kepunahan lokal.

Kepunahan lokal Hipposideros cervinus disuatu tempat berarti berkurangnya predator serangga dikawasan tersebut. Jika keberadaan hama menjadi faktor pengganggu bagi tanaman pertanian atau tanaman bernilai komersial lainnya, maka keberadaan kelelawar pemangsa serangga menjadi elemen yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan rantai makanan.

Referensi

Anonim. 1997. Family Hipposideridae. Operation Wallacea. Buton

Bonaccorso, F. J. 1998. Bats of Papua New Guinea. Conservation International. Washington D.C

Hutapea, G., 1992. Seri Eyewitness: Mamalia. Incorporated with The Natural History Museum. Bentara Antar Asia. Jakarta

Payne, J., 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. The Sabah Society and World Conservation Society – Indonesia Program

Primack, J.B., Jatna Supriatna 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Suyanto, A., 2001. Seri Panduan Lapangan Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi – LIPI. Balai Penelitian Botani Herbarium Bogoriense. Bogor

Surat dari Dedey Pawan di NAD

TANPA sengaja aku tertonton film dokumenter tersebut. Karena aku gandrung dengan berita - berita di Metro TV. Tapi sewaktu aku melihat membuka Metro TV pada saat itu aku melihat gambar tumpukan - tumpukan Kayu olahan dalam acara tersebut, membuat aku tertarik melanjutkan tontonan tersebut, karena aku memang salah seorang yang geram kalau melihat pemandangan seperti itu.

Tersadar aku, mengapa aku gak bisa menghalanginya pada saat itu. Rupanya aku larut dalam kegeramanku.

Akhirnya aku coba untuk mengamati cerita pada film tersebut. Akhirnya aku melihat, bukan karena kemiskinan mereka seperti itu.

Mengapa aku bilang seperti itu; pertama, aku melihat hutan disekitar komunitas suku tersebut sangatlah kaya, mereka tidak akan mati kelaparan dari hutan tersebut. kedua, dalam rumah anak ketua adat yang berseberangan dengan ayahnya tampak sarana Televisi dan alat2 elektronik lainnya yang saya lihat barang - barang tersebut tidak dapat meningkatkan derajat mereka? tidak, karena yang bisa mengangkat derajat mereka adalah adat, bukan fasilitas - fasilitas seperti itu. Fasilitas seperti itu hanya membuat mereka malas.

Mereka sangat kaya, kaya dengan adat. Mereka mempunyai hukum adat dalam menjaga kelestarian hutan mereka. Adat mereka menempatkan hutan sangat terhormat. Bukan seperti kita yang menghormati hutan hanya dengan undang - undang yang tidak pernah dapat meninggikan derajat hutan itu sendiri dalam aspek kehidupan kita.

Jadi kemelut (yang diangkat) pada (film) Tanah Terakhir (ini) adalah karena (faktor) KEBODOHAN.

Dedey Pawang
MAPALA PANDAYANA - UNAYA Aceh
PDY 01.001.UA

Komunitas Tanah Terakhir : Saudara Dedi , terima kasih atas apreasiasi anda. Film Tanah Terakhir adalah film dokumenter, dimana kedua pembuat film mencoba memotret realitas dan menujukkan kepada kita sebagai penonton. Sebagai film dokumenter, dia tidak menyatakan sebuah kesimpulan. Kita lah sebagai penonton yang menarik kesimpulan itu. Dan biasanya kesimpulan yang muncul akan beragam dan penuh warna. Tergantung pengalaman, pengetahuan dan kedekatan kita dengan objek cerita itu.

Anda pasti punya pengalaman banyak dengan issue-issue lingkungan. Akan lebih menarik jika anda mau berbagi dengan kami. Mungkin Anda bisa menulis artikel (-/+) 7000 lalu kirim kepada kami. Bagaimana ? kami tunggu tulisan anda ya..

Wednesday, October 15, 2008

Mulailah dari Sejarah

Apresiasi untuk film Tanah Terakhir

Pengantar :
Dian Purba, seorang aktivis cum penikmat sastra dan sejarah di Medan, mengirimkan apresiasinya tentang Film Tanah Terakhir. Melalui tulisannya dibawah,, dia berpesan untuk kembali kepada sejarah. Sejarah yang dia maksud, tidak sesempit buku teks yang beredar diruang-ruang kelas. Bagi Dian, sejarah adalah catatan alam dan manusia yang berserakan di jagad raya ini. Yaitu sebuah rentetan tradisi yang ramah dan satun terhadap alam. Tradisi yang tidak menjadikan orang kelaparan dan terkena bencana. Dian merasa berterima kasih kepada Film Tanah Tanah terakhir, karena telah mengingatkan nya kembali tentang sejarah moyang yang punya saudara ”kandung” yaitu alam.

Oleh DIAN PURBA

SUATU kali Pramoedya berkata umumnya orang Indonesia itu menderita “busung-lapar histori”. Semua yang baik dari makanan yang kita namakan “sejarah yang benar” telah diambil sarinya. Direbut dari tubuh, dibuatkan ke dalam bentuk yang baru berupa tulisan para “ahli” dan dinamakan kitab tentang segala sesuatu yang (dipaksakan) benar. Tubuh-tubuh yang telah diambil sarinya dibiarkan hidup tanpa memberi kesempatan memperoleh asupan giji yang cukup.

Sejarah bagi penguasa adalah pedang. Pedang bermata dua. Mata yang satu ditujukan kepada pihak yang dinamakan “kita”. Mata kedua ditujukan kepada mereka-mereka yang bukan “kita”. “Kita” diartikan semua individu atau kelompok yang berada di dalam kerangka pemikiran penguasa. Mereka yang terang-terangan, sembunyi-sembunyi berada di luar kerangka berpikir sang empu nya kuasa adalah kelompok “bukan kita”. Mereka sangat tidak disukai. Juga sangat ditakuti. Makar, demikian mereka dinamai.

Sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa untuk membenarkan kekuasaannya. Ini penting, untuk tidak mengatakan teramat penting. Inilah yang terjadi pada bangsa ini untuk waktu yang teramat lama. Sejarah yang benar dibuat bengkok kemudian ditulis ulang. Semua dikaburkan bahkan dihilangkan, dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa dan rejim.

Alhasil, sejarah yang kita pahami adalah sejarah sebagai doktrin bukan sebagai telaah kritis tentang masa lalu. Bukan pula yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan penghormatan terhadap alam. Kita harus memberanikan diri membuka tabir gelap bangsa ini. Kesalahan-kesalahan di jaman dulu harus kita akui sebagai sebuah kesalahan.

Dari mana kita harus memulai? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai (2008) kira-kira mengatakan: ini saatnya kaum muda “dipaksa” untuk memahami dan mengkaji ulang sejarah bangsa mereka sendiri. Sejarah yang kita anggap selama ini benar tidak dapat diterima lagi. Karena, sekali lagi meminjam Pram, kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Dengan demikian “busung-lapar histori” akan menjadi “sehat histori”. ***

Pendukung Tanah Terakhir di Medan

Foto berikut ini dikirim oleh pendukung film Tanah Terakhir dari Medan. E-

***


***

Resensi : Kemiskinan Yang Mengancam

Sebuah resensi “Tanah Terakhir” Eagle Award Documentary Competition

Oleh VIKRI, BISRI, IRHAM, AINUR, UMMU

"ORANG tua mana yang melarang anaknya menebun di kebun sendiri, tapi kamu malah pergi," kata Datuk Duli pada Anjol, anak sulungnya yang telah menjual pohon di 3 kebun dan 3 sungai miliknya ("Tanah Terakhir", Eagle Award Documentary Competition, 2008).

Adalah sorang Datuk Duli, pemangku adat Suku Dayak Ntuka, pedalaman Kalimantan Barat yang teguh memegang prinsip tetap mempertahankan kebun miliknya dan mengambil manfaat dari kebun tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, ironisnya, prinsip itu bahkan menerima perlawanan dari anak sulungnya sendiri, Anjol.

Anjol nekat menjual pohon di 3 kebun dan di 3 sungai meski tanpa izin ayahnya, Datuk Duli. Anjol melakukan hal tersebut karena terhimpit oleh beban hidup. Meski ternyata, hasil penjualan tersebut hanya bisa dibelikan 1 buah TV, 1 DVD Player, 1 parabola, mesin penebang kayu dan generator set. Dan hasil lainnya, Anjol bahkan tak bertegur sapa dengan Datuk Duli selama 2 tahun. Lalu tinggal menyendiri dan membangun rumah di dalam hutan.

Kearifan vs Kebutuhan Perut

Film dokumenter berdurasi 15 menit garapan Rahmawati dan Esti Asmalia ini, menggambarkan sebagian kecil potret masyarakat pedalaman yang berjuang antara mempertahankan kearifan local (local wisdoms) ditengah himpitan kebutuhan ekonomi. Kearifan local bertabrakan dengan modernitas, yang bahkan dapat merugikan masyarakat sendiri, yaitu kerusakan alam. Masih banyak Datuk Duli dan Anjol lain di belahan lain Indonesia. Hanya saja luput untuk didokumentasikan.

Kesulitan mempertahankan kearifan jelas sekali tercermin dari kekecewaan Datuk Duli pada perilaku Anjol. Datuk Duli yang menginginkan kebun dikelola sebagaimana mestinya justru malah dijual dengan harga yang tidak pantas. 1 kubik kayu dibeli dengan harga Rp. 6000 padahal 1 kg gula seharga Rp. 10.000. Ironis memang…

Bagian Terlewat

Tanah terakhir, sebagai film documenter memang cukup baik menampilkan konflik dalam lingkup kecil yaitu keluarga. Sempat dikemukakan secara implisit bahwa tantangan mempertahankan kearifan local bukan hanya datang dari keluarga Datuk Dule, tetapi juga dari pendulangan emas dengan menggunakan mesin mekanik yang menyebabkan tercemarnya air sungai. Namun, ini kurang dikuatkan secara visual, yang ditampakkan adalah aktifitas pendulangan dengan alat sederhana saja.

Keluarga sebagai pondasi

Terlepas dari sedikit kekurangan, “Tanah Terakhir” yang berdurasi 15 menit itu, cukup memberi pelajaran kita. Bahwa perubahan mendasar bisa dilakukan dari unit paling kecil dalam tatanan masyarakat yaitu keluarga. Bagiamanapun, komunitas pertama yang dikenal individu adalah keluarga. Nilai-nilai positif tentang kearifan local, kecintaan terhadap lingkungan dan kemauan untuk menjaganya dapat ditanamkan sedari dini.

Film ini juga cukup mewakili potret sebagian besar masyarakat kita. Dengan film ini, semoga pemangku kebijakan lebih sadar lagi bahwa kearifak local harus tetap dipertahankan. Jangan sampai kearifan local ini justru tergerus oleh modernitas yang sama sekali tidak sensitif dengan alam. Akhirnya, jangan hanya bisa menebang tanpa pernah menanam kembali.***

Penulis adalah Komunitas Pecinta Alam, MAN Tlogo-Blitar, Jawa Timur.

Monday, October 13, 2008

Surat dari Kris Manto

AKU dukung film dokumenter ini..apalagi ini kan tentang tanah terakhir...jadi bagiku tema ini cocok untuk diangkat..pas banget dah pokoknya..apalagi dengan kondisi sekarang ini.jadi maju terus film dokumenter ini..mudah2an apa yang dicita2kan atau yang diharapkan dari film dokumenter ini bisa terwujud..amin...
Good Luck For All Team or All Crew for support this film....
God Bless Us...

Saturday, October 11, 2008

Surat dari Sri Sultoni di Cirebon

Asslmkm wr.wb....

perkenalkan saya sri sultoni, biasa dipanggil oni. (female)

terus terang saya tertarik sekali dengan tanah terakhir...sudah lama saya mencari komunitas yang peduli dengan bumi ini. saat ini saya di cirebon..saya miris dan sedih sekali melihat hutan kita di pulau jawa. yang sering membuat saya khawatir, gimana ya anak cucu saya di masa datang akan mendapatkan air, kalo hutannya terus dibabat??
kemarau, air susah, musim hujan, banjir dimana2.

saya kemarin 2,5 tahun di aceh, dan sempet berjalan2 ke pedalaman, menerobos hutan hujan tropis....ahhhh....alangkah indahnya, sejuknya....air masih melimpah...saya bermimpi di pulau jawa ada hutan seperti di aceh....

saya pengin bergabung dengan temen2 yang peduli dengan hutan kita, ayo kita tanami kembali hutan kita...!!

sekian dulu perkenalan dari saya, nanti lain waktu disambung lagi. terimakasih wasslmkm wr.wb

Surat dari Francesca Wijaksono

Dear Echa dan Rachma,

kebetulan sekali saya, saat ini sedang meneliti suku dayak, dan tulisan, kisah, film or whatever tentang tanahterakhir itu sangat membantu saya.

saya sangat mendukung dan salut atas pembuatan film tersebut yang tentunya selain asik habis waktu proses pembuatannya (di tanah dayak gitu lho) pasti juga ga enak karena kita ga biasa lepas dari listrik 24 jam..tapi saya bisa ngerasain pasti asik banget.

btw, apa saya bisa minta kontaknya Tony Trimarsanto...its very helpful banget.

bravo...

Francesca Wijaksono

Tanah Terakhir Tayang di Metro TV

"Selamatkan Bumi, Selamatkan Tanah Terakhir Kita"

JANGAN lupa tonton Film Tanah Terakhir di Metro TV

Fresh/premier online :
Senin, 13 Oktober 2008 , 19.30 - 20.00

Re-run 1 :
Selasa 14 Oktober 2008, 16.05 s/ 16.30

Re – run 2:
Senin 20 Oktober 2008, 11.05 s/ 11.30

lalu kirim sms sebanyak mungkin, caranya ketika : EA (Spasi) Tanah kirim ke 6876

***

Silahkan down Load Poster dibawah ini, lalu sebarkan kemana saja..


***

Thursday, October 9, 2008

Tentang Sutradara..

Foto : (ki-ka) Rahmawati dan Esti Asmalia
Photo By Emanuel Tome Hayon
  1. Rahmawati

Perempuan kelahiran Sandai 6 mei 1982 ini adalah Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Sejak duduk di bangku kuliah ia sudah tergabung dengan organisasi lingkungan. Dia menganggap bekerja di lembaga yang concern dengan kelestarian lingkungan bisa menyalurkan bakat jalan-jalannya. Saat ini dia bekerja pada Lembaga Penelitian Fauna and Flora International.

  1. Esti Asmalia

Perempuan kelahiran Lampung 26 tahun silam ini adalah pecinta petualangan alam. Sejak duduk dibangku kuliah, lulusan Fakultas Kehutanan UGM yang hobi menulis dan keluar masuk hutan ini aktif di berbagai organisasi. Dia pernah menerima beasiswa dari World Bank untuk pelatihan peniliaian keanekaragaman hayati di Sulawesi dan bekerja sebagai fasilitator lapangan penilaian komoditas sumber daya alam di Taman Nasional Gunung Ciremai. Terakhir ia bekerja untuk International Tropical Timber Organization, setelah sebelumnya sempat menyalurkan idealismenya melalui beberapa LSM nasional dan internasional.**

Sinopsis Film Tanah Terakhir

BERAPA harga sebuah televisi, dvd player, generator set dan dua buah chain saw? Jawabannya, pohon di tiga bukit dan tiga sungai! Lalu berapa harga satu meter kubik kayu meranti? Tidak lebih dari enam lembar uang ribuan!

AdalahTanah Terakhir , satu dari lima finalis Eagle Award Documentary Competition 2008 yang menyuguhkan realita tersebut kedalam sebuah film dokumenter. Dengan durasi limabelas menit, film ini meramu konflik keluarga dengan kondisi masyarakat Dayak Ntuka di pedalaman Kalimantan Barat yang seringkali dirugikan akibat salah kaprah pemanfaatan sumber daya alam. Film karya Rahmawati dan Esti Asmalia ini kita mengajak kita untuk menyadari bahwa penyelamatan lingkungan bisa dimulai dengan langkah yang sederhana, yaitu menanam; dan bisa dimulai dari komunitas yang paling dekat dengan kita, yaitu keluarga. ***

Ide Awal Film Tanah Terakhir

Rahmawati dan Esti Asmalia dalam sebuah pengambilan gambar di Metro TV
Photo By Emanuel Tome Hayon

***

BERLADANG adalah urat nadi perekonomian masyarakat Dayak pada umumnya. Etnis yang mendiami Pulau Kalimantan ini – termasuk wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam – berladang dengan cara membuka hutan, menanaminya selama beberapa waktu lalu pindah dan membuka hutan baru lagi. Hutan yang ditinggalkan diharapkan akan kembali seperti semula setelah jangka waktu tertentu. Begitu seterusnya selama beberapa kali sampai akhirnya mereka kembali ke hutan yang sama. Proses inilah yang lantas disebut dengan satu periode perladangan gilir-balik.

Orang-orang tua Dayak mengajarkan pada keturunan mereka tradisi berladang yang secara implisit kaya akan nilai-nilai luhur. Setiap tahap perladangan tidak luput dari ritual yang menggambarkan penghargaan dan penghormatan terhadap alam.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, ketergantungan manusia akan sumber daya alam juga makin tinggi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya kekuatan modal dari luar yang juga berniat menguasai kekayaan perut bumi Kalimantan. Perebutan kekayaan alam ini lantas menjadikan sikap yang semula arif terhadap alam lambat laun berubah menjadi destruktif.

Berangkat dari keprihatinan akan kerusakan alam yang terjadi terus menerus, lahirlah sebuah keinginan untuk mendokumentasikan kekayaan yang tersisa kedalam bentuk sebuah film dokumenter. Sang Sutradara; Rahmawati (Ema) dan Esti Asmalia (Esti) adalah dua orang perempuan yang aktif pada organisasi non-pemerintah dibidang kehutanan dan lingkungan. Kesamaan cara pandang diantara keduanya lantas membawa mereka bersepakat membuat sebuah proposal film dokumenter berjudul Tanah Terakhir untuk Eagle Award Documentary Competition (EADC) 2008 yang diadakan Metro TV.

Dalam kompetisi bertema ’Hijau Indonesiaku’ Ema dan Esti mengangkat isu pergeseran kearifan masyarakat adat Dayak Ntuka di Dusun Bahake, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Setelah bersaing dengan 300-an proposal dari seluruh Indonesia, dewan juri Pitching Forum¹ yang terdiri dari para praktisi lingkungan dan perfilman memutuskan proposal berjudul Tanah Terakhir menjadi satu dari 5 (lima) proposal terbaik yang akan mendapatkan beasiswa pelatihan dan pembuatan film dokumenter dari Metro TV.***


Kampung Bahake

Suatu Hari di Pedalaman Kalimantan Barat

Foto By Tony Trimarsanto

INI CERITA tentang sebuah kampung yang mungkin tidak ditemukan dalam peta atau google earth sekalipun. Kampung yang mengajari kami untuk kembali pada kesederhanaan hidup dan kedekatan dengan alam. Sebuah tanah dimana nenek moyang kami lahir dan berjuang. Tanah yang sudah menghidupi kami selama ini. Tanah yang telah kami khianati. Begitu banyak yang kami ambil dari tanah ini. Air, tanah, emas, semuanya. Lalu apa yang kami berikan untuk tanah ini? Hanya tanah tandus, bukit-bukit gundul dan air yang tercemar. Lima, sepuluh, limabelas tahun lagi mungkin tidak ada lagi yang tersisa dari tanah ini. Hanya sebuah cerita tentang Tanah Terakhir...

Pagi itu matahari belum tinggi benar. Kabut masih menyelimuti kampung dan bergumul dengan tegakan pohon di bukit. Beberapa orang mulai sibuk beraktivitas. Mandi, mencuci dan menjala ikan menjadi gambaran rutinitas pagi hari masyarakat di tepi Sungai Bahake. Suara speedboat sesekali terdengar melintas, kalah dengan deru mesin penyedot emas yang – meski dilarang penggunaannya – masih saja beroperasi menambang emas. Bau karet menyengat melengkapi suasana jalan kampung yang belum di aspal dan dipenuhi dengan jemuran padi. Anak-anak dengan seragam putih merah berangkat menuju sekolah. Wajah-wajah lugu itu nampak riang, meski harus berjalan tanpa alas kaki dan pakaian seragam putih mereka berangsur menjadi coklat muda. Anjing dan ayam yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat ikut sibuk berkeliaran, mengikuti kemana tuan mereka pergi.

Adalah Kampung Bahake yang terletak di ujung Sungai Pawan, salah satu anak Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Tidak mudah untuk mencapai kampung dengan mayoritas etnis Dayak Ntuka ini. Dari pontianak, kita harus menuju Ketapang terlebih dahulu, lalu meneruskan perjalanan dengan speed boat selama kurang lebih 8 jam. Meski cukup beresiko, Bahake dapat pula dijangkau dengan jalan darat. Tapi jangan harap ada jalan aspal, hanya jalan tanah berwarna merah yang becek dan licin jika musim hujan tiba.

Tidak jauh dari tepi jalan, terdapat sebuah kompleks kuburan adat. Bentuknya menyerupai rumah panggung berbahan dasar kayu. Makin tinggi status sosialnya, makin bagus pula bentuk kuburannya.

Pencaharian masyarakat pada umumnya adalah berladang, menoreh karet dan mencari emas. Sebelum tahun 2007, kerja kayu (menebang kayu, red) menjadi primadona penyokong perekonomian sebagian besar masyarakat Bahake. Tapi sejak razia kayu besar-besaran tahun 2007 mereka lebih memilih menoreh karet dan menambang emas karena cukong yang biasanya menadah hasil tebangan harus berurusan dengan pihak berwajib. Tidak heran kalau rakit dan tumpukan kayu di tepi sungai menjadi pemandangan biasa. Beruntung mereka masih bisa mengandalkan hasil dari tembawang¹ untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain berladang, masyarakat juga menambang emas. Baik secara tradisional dengan menggunakan dulang atau semi-mekanik dengan menggunakan mesin sedot atau kompressor. Pertambangan dengan menggunakan mesin dompeng dilarang penggunaannya karena dianggap mencemari air sungai. Pada penggunaan kompressor, emas dan pasir dipisahkan dengan menggunakan air raksa. Unsur ini membahayakan kesehatan karena dapat menyebabkan kanker. Jika terkena kulit, akibat yang langsung muncul biasanya adalah gatal-gatal dan kulit kemerahan.

Terdapat sebuah perusahaan perkayuan yang beroperasi sejak 4 (empat) tahun terakhir. Wilayah konsesinya berbatasan langsung dengan Kampung Bahake. Entah sudah berapa bukit yang dihabiskan oleh perusahaan ini. Tiap musim penghujan tiba, air limpasan permukaan dari jalan tanah perusahaan mencemari Sungai Bahake, membuat masyarakat kesulitan air bersih. Untuk kebutuhan air minum, mereka harus mengalirkan air dari bukit lewat paralon untuk mendapatkan air.

Memang, dekat dengan sumber daya alam tidak lantas membuat kehidupan masyarakat Kampung Bahake layak dari segi fasilitas umum. Justru sebaliknya. Kampung ini bahkan belum tersentuh oleh listrik, apalagi sinyal telepon. Puskesmas terdekat kampung ini ada di kota kecamatan kurang lebih 1 jam dengan speedboat. Fasilitas pendidikannya juga minim. Beruntung kampung ini punya sebuah sekolah dasar, meski hanya satu unit. Di ujung kampung berdiri sebuah sekolah dasar dengan 3 ruang kelas. Papan kayu bercat putih dengan tulisan hitam itu bertuliskan Sekolah Dasar Negeri 13 Bahake. Sekolah yang berbentuk rumah panggung ini memiliki dua ruang untuk belajar mengajar dan satu ruang lagi untuk ruang serbaguna. Satu ruang kelas dipergunakan oleh kelas 2, 3 dan 4 secara bersamaan. Sementara kelas 1, 5 dan 6 memanfaatkan ruang lainnya. Koleksi buku ajar juga seadanya. Tenaga pengajar hanya 3 orang, itupun jarang berada ditempat. Kalau sudah demikian, anak-anak lebih sering bermain sepak bola di halaman sekolah.

Sebagaimana kampung dayak pada umumnya, Bahake masih cukup kental dengan ritual adat. Ritual ini bisa dijumpai dalam tiap prosesi perladangan. Maklum, perladangan adalah urat nadi perekonomian masyarakat dayak. Dari ladang kebudayaan mereka tumbuh dan dari ladang pula mereka hidup.

¹tembawang: kebun bekas perladangan gilir-balik yang ditanami dengan pohon hutan (tanaman kayu keras) dan pohon buah-buahan. ***

Kampanye Dukung Film Tanah Terakhir

SILAHKAN Down load poster berikut ini, lalu perbanyak. Sebarkan kemana saja dan kepada siapa saja. Mari selamatkan bumi, mari selamatkan tanah terakhir kita. - Erix

***


***

Echa dan Ema in Actions

BERKERINGAT, kepanasan..itulah yang dirasakan dua sineas dokumenter, Rahmawati dan Esti Asmalia dalam pembuatan Tanah Terahir. Akhirnya hasil penelitian dan verja keras mereka selama ini harus di visualisasi. Data dan fakta-fakta yang ada diatas kertas dibuat menjadi gambar hidup. Sebuah tantangan yang tak muda untuk menujukkan sebuah realitas kepada dunia. Tapi bagi mereka, itu adalah esensi dari perjuangan. Foto-foto hasil jepretan Tonny Trimarsanto menujukkan bagaimana kerja kereas mereka berdua dilapangan. Hmmm - Erix

***

Esti dan Andre Triadi sedang di depan rumah Anjol,
mereka berupaya mengambil gambar terbaik. Hmm..
Foto by Tonny Trimarsanto
Esti sedang mengambil gambar perbukitan
Foto by Tonny Trimarsanto

E sedang melihat hasil gambar yang baru di shoot
Foto by Tonny Trimarsanto

Ema, Echa dan Andre sedang "break" setelang shooting
Foto by Tonny Trimarsanto

Echa "jongkok-jongkok" sambil mencatat
Foto by Tonny Trimarsanto

***

Keseharian Masyarakat Dayak Ntuka

FOTO-foto berikut ini adalah hasil jepretan Tonny Trimarsanto, Echa dan Rahwati. Foto-foto ini menujukkan keseharian Masyarakat Dayak Entuka lengkap dengan budayanya. Sebuah tatacara tradisional yang sangat menghargai alam dan isinya. - Erix

***

Anak-anak bermain sambil mendulang emas di sungai
Photo By Echa

Rumah Datuk Duli
Photo By Echa

Kampung Bahake di pagi hari
Photo By Echa

Pembacaan Mantra dalam Ritual "Nyabut Buah"
Photo By Rahmawati

Pembacaan mantra dalam upara ritual Nyambut Buah
Photo By Rahmawati

Rahmawai dan Esti disambut upacara adat Bahake
Photo By Tonny Trimarsanto
***

Kerusakan Lingkungan di Sungai Krio

BERIKUT ini adalah 4 foto, 3 jepretan Esti Asmalia (Echa) dan 1 Jepretan Rahmawati. Foto ini mengambarkan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penebangan hutan. Kerusakan secara fisik ini mungkin masih lebih kecil, ketimbang kerusakan biologis dan sosial yang timbul. - Erix

***



Alat-alat berat milik perusahan penebangan kayu
Photo By Rahmawati


hutan yang gundung
Photo By Echa

log yang teronggok di tepi jalan foto
Photo By Echa

Tunggul-tunggul pohon bekas tebangan
Photo By Echa

***