Thursday, October 16, 2008

Hipposideros cervinus, si Kudanil Terbang

Catatan : Komunitas Tanah Terakhir adalah tempat belajar tentang alam dan isinya. Karena itu, blog memuat semua informasi yang berhubungan dengan itu. Kami percaya, dengan mempelajari alam, adalah cara terbaik untuk mememulai menghargai alam dan isinya. E-

Oleh ESTI ASMALIA


KELELAWAR merupakan satu-satunya mamalia yang memiliki kemampuan terbang. Mereka sering dihubungkan dengan dunia kegelapan dan makhluk penghisap darah yang menyeramkan. Mitos ini menjadi salah satu alasan mengapa kelelawar cenderung dianggap sebagai hewan pengganggu, sehingga keberadaannya acapkali terpinggirkan. Padahal dibalik anggapannya sebagai hama, kelelawar ternyata memiliki fungsi ekologis yang tidak kecil. Kelelawar pemakan buah (fruit-eating bats) mendukung pemencaran biji, kelelawar penyerbuk (pollinator bats) ’berjasa’ dalam proses penyerbukan pada beberapa jenis pohon komersial, seperti durian dan kelelawar pemangsa serangga (insectivorous bats) berperan dalam mengendalikan populasi hama.


Ada banyak fakta mengagumkan mengenai kelelawar. Selain kemampuan terbangnya, kemampuan fisiologi tubuh kelelawar juga luar biasa.
Pada musim dingin dikawasan subtropik, kelelawar tidur dan mampu menurunkan laju metabolisme tubuhnya sehingga bisa bertahan hidup tanpa makan; keadaan ini disebut masa dorman. Pada CO2 sebesar 21.000 ppm (50 kali kadar CO2 diudara normal) dan kemampuan amonia sebesar 5000 ppm, kelelawar masih mampu bertahan hidup. Sementara kemempuan manusia untuk bertahan hidup pada kadar CO2 yang sama hanya ¼ nya dan mampu bertahan hidup selama satu jam dalam kadar amonia sebesar 100 ppm saja (Constantine 1970 dalam Suyanto, 2001).

Alat bantu yang memungkinkan kelelawar untuk terbang adalah sepasang sayapnya. Sayap ini sesungguhnya merupakan lembaran otot dan serat elastis berlapis kulit yang digerakkan oleh otot lengan. Otot-otot penggerak sayap ini sama dengan yang digunakan manusia untuk mengepakkan kedua lengannya, namun secara proporsional beberapa kali lebih kuat. Sementara rangka sayapnya merupakan perkembangan dari tangan dan jari-jari tangan. Tulang-tulang lengan dan jari-jari kedua hingga kelima menyangga sayap. Jari pertama berbentuk seperti kuku dan dipakai utuk merangkak, membersihkan diri dan pada spesies tertentu untuk berkelahi dan memegang makanan (Hutapea, 1992).

Kelelawar seperti kebanyakan mamalia berkembang biak dengan melahirkan. Pada kelelawar pemangsa serangga, betina melahirkan dengan kaki keluar terlebih dahulu, sementara mamalia lain kepalanya keluar lebih dulu (Suyanto, 2001). Mereka umumnya adalah monotocous (berkembang biak sekali setahun) dengan masa bunting 3-6 bulan dan melahirkan sepanjang periode 2 – 3 minggu pada awal musim panas (sekitar bulan Juni) ketika ketersediaan pakan melimpah. Biasanya hanya 1 anakan yang dilahirkan. Mereka tumbuh dengan cepat dan mampu mencapai ukuran hampir 90% besar induknya ketika mulai disapih (usia 4 – 6 minggu). Mereka masih terus menyusu pada induknya sampai hampir dua bulan berikutnya. Jika proporsi tersebut dibandingkan dengan manusia dewasa dengan berat 60 kg, maka bayi yang disusuinya seberat 54 kg.

Secara umum, kelelawar (ordo Chiroptera) dibagi menjadi dua sub-ordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Termasuk dalam sub-ordo Megachiroptera adalah kelelawar pemakan buah, kelelawar penyerbuk dan rubah terbang (flying fox), sementara kelelawar pemangsa serangga termasuk dalam sub-ordo Microchiroptera. Selain diet, perbedaan kedua sub-ordo tersebut terletak pada ukuran tubuhnya. Keluarga sub-ordo Megachiroptera relatif lebih besar jika dibandingkan dengan sub-ordo Microchiroptera.

Satu dari sekian banyak kelelawar dari sub-ordo Microchiroptera yang hidup di Indonesia adalah Hipposideros cervinus (Fawn Nose-leaf Bats atau Gould’s Nose-leaf Bats) yang ditemukan pertama kali oleh Gould tahun 1863. Spesies anggota famili Hipposideridae dengan nama lokal Barong Rusa ini tersebar di Australia, Kepulauan Solomon, Afrika, Vanuatu, Filipina, Pulau-pulau di Pasifik, Brunei, Papua New Guinea dan Malaysia. Di Indonesia ditemukan di Sumetera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Pulau Kangean, Pulau Kai, Pulau Bacan, Kepulauan Aru dan Maluku (Suyanto, 2001).

Wajah Hipposideros cervinus sebagaimana layaknya anggota keluarga Hipposideridae lainnya menyerupai kudanil (Hippopotamus). Dari kenampakan morfologi wajah inilah penamaan famili Hipposideridae muncul. Pada jenis Hipposideros cervinus bagian hidungnya terdiri dari lua lipatan kulit lateral yang berwarna merah jambu keabu-abuan dan daun hidung median lebih sempit daripada daun hidung posterior (Payne, 2000). Warna bulu bagian atas pada Hipposideros cervinus dewasa berwarna coklat, pada juvenil berwarna agak kehitaman. Bulu tubuh bagian bawah berwarna lebih pucat sementara telinga berbentuk segitiga lebar dan besar menyerupai telinga kucing. (Anonim, 1997).

Mamalia primitif ini merupakan fauna crepuscular. Mereka aktif setelah matahari terbenam dan menjelang pagi hari. Biasanya mereka keluar dari gua tempat mereka bergantung (roosting) untuk mencari pakan (foraging) dibawah kanopi hutan. Yang termasuk dalam diet mereka antara lain kumbang, rayap, semut dan kecoa. Saat mencari pakan spesies ini sering terbang rendah dekat dengan tanah atau vegetasi yang rapat. (Bonaccorso, 1998).

Lain halnya dengan kelelawar pemakan buah yang indera penglihatannya berfungsi baik, kelelawar pemangsa serangga termasuk didalamnya Hipposideros cervinus tidak menggunakan mata secara maksimal sebagai indera penglihatan. Mereka menggunakan telinga, mulut dan lubang hidung sekaligus sebagai perangkat orientasi yang disebut dengan ekolokasi. Mulut atau lubang hidung kelelawar akan mengeluarkan suara ultrasonik dengan rerata kekerapan 50 kHz. Jika menabrak suatu benda, gelombang ini akan memantul sebagai gema, dengan cara inilah Hipposideros cervinus dan kelelawar pemangsa serangga lainnya dapat mengukur jarak suatu benda. Hal ini yang membuat mereka tidak saling bertabrakan ketika terbang bersama koloninya atau saat mencari pakan pada vegetasi yang rapat.

Status konservasi si ‘kudanil terbang’ ini termasuk low risk (resiko rendah). Meski demikian mereka tetap menghadapi resiko kepunahan lokal akibat aktivitas manusia yang merangsek kedalam habitat asli mereka. Kebanyakan aktivitas manusia terkait dengan kelelawar adalah proses pengambilan kotoran kelelawar (guano) yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Untuk mendapatkan guano orang harus masuk ke gua tempat kelelawar bersarang. Proses pengambilan guano sendiri secara otomatis mengganggu aktivitas kelelawar di habitat alami mereka.

Habitat Hipposideros cervinus adalah hutan hujan primer dan hutan hujan sekunder, tegakan eukaliptus, taman, perkebunan dan daerah pinggiran kota dengan ketinggian rendah sampai pegunungan. Sementara tempat roosting mereka adalah didalam gua dengan kedalaman dangkal sampai sedang, areal penambangan, terowongan, rumah-rumah tua yang kosong dan lubang pohon (Bonaccorso, 1998).

Dalam buku yang bertajuk Biologi Konservasi, Primack et.al (1998) menyebutkan bahwa spesies yang membentuk kelompok secara tetap atau sementara sangat rentan dengan kepunahan lokal, termasuk contoh didalamnya adalah kelelawar. Mereka mencari makan sendiri pada malam hari dan akan menetap pada malam hari secara bersama-sama pada gua yang sama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pengurangan populasi atau bahkan kepunahan lokal jika tempat mereka bersarang terganggu akibat maraknya aktivitas manusia.

Hipposideros cervinus sebagaimana mamalia lainnya tergolong learning animals – terjemahan umumnya adalah hewan yang mampu belajar. Jika habitatnya terganggu, seringkali kelelawar enggan kembali ke sarang mereka selama periode tertentu. Ini yang lantas membuat gua-gua kelelawar seringkali berkurang populasinya selama beberapa waktu setelah proses pengambilan guano. Proses mencari tempat roosting yang baru akan menimbulkan stress tersendiri pada kelelawar. Jika keadaan ini berlanjut maka kelelawar yang trauma tidak akan kembali lagi ke gua dimana mereka bersarang sebelumnya. Ini kemudian yang akan memicu terjadinya kepunahan lokal.

Kepunahan lokal Hipposideros cervinus disuatu tempat berarti berkurangnya predator serangga dikawasan tersebut. Jika keberadaan hama menjadi faktor pengganggu bagi tanaman pertanian atau tanaman bernilai komersial lainnya, maka keberadaan kelelawar pemangsa serangga menjadi elemen yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan rantai makanan.

Referensi

Anonim. 1997. Family Hipposideridae. Operation Wallacea. Buton

Bonaccorso, F. J. 1998. Bats of Papua New Guinea. Conservation International. Washington D.C

Hutapea, G., 1992. Seri Eyewitness: Mamalia. Incorporated with The Natural History Museum. Bentara Antar Asia. Jakarta

Payne, J., 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. The Sabah Society and World Conservation Society – Indonesia Program

Primack, J.B., Jatna Supriatna 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Suyanto, A., 2001. Seri Panduan Lapangan Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi – LIPI. Balai Penelitian Botani Herbarium Bogoriense. Bogor

No comments: