Pengantar : Dian Purba, seorang aktivis cum penikmat sastra dan sejarah di
Oleh DIAN PURBA
SUATU kali Pramoedya berkata umumnya orang
Sejarah bagi penguasa adalah pedang. Pedang bermata dua. Mata yang satu ditujukan kepada pihak yang dinamakan “kita”. Mata kedua ditujukan kepada mereka-mereka yang bukan “kita”. “Kita” diartikan semua individu atau kelompok yang berada di dalam kerangka pemikiran penguasa. Mereka yang terang-terangan, sembunyi-sembunyi berada di luar kerangka berpikir sang empu nya kuasa adalah kelompok “bukan kita”. Mereka sangat tidak disukai. Juga sangat ditakuti. Makar, demikian mereka dinamai.
Sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa untuk membenarkan kekuasaannya. Ini penting, untuk tidak mengatakan teramat penting. Inilah yang terjadi pada bangsa ini untuk waktu yang teramat lama. Sejarah yang benar dibuat bengkok kemudian ditulis ulang. Semua dikaburkan bahkan dihilangkan, dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa dan rejim.
Alhasil, sejarah yang kita pahami adalah sejarah sebagai doktrin bukan sebagai telaah kritis tentang masa lalu. Bukan pula yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan penghormatan terhadap alam. Kita harus memberanikan diri membuka tabir gelap bangsa ini. Kesalahan-kesalahan di jaman dulu harus kita akui sebagai sebuah kesalahan.
Dari mana kita harus memulai? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai (2008) kira-kira mengatakan: ini saatnya kaum muda “dipaksa” untuk memahami dan mengkaji ulang sejarah bangsa mereka sendiri. Sejarah yang kita anggap selama ini benar tidak dapat diterima lagi. Karena, sekali lagi meminjam Pram, kalau orang tidak tahu sejarah, ia tidak akan paham masa kini, apalagi masa depan. Dengan demikian “busung-lapar histori” akan menjadi “sehat histori”. ***
No comments:
Post a Comment