Wednesday, October 15, 2008

Resensi : Kemiskinan Yang Mengancam

Sebuah resensi “Tanah Terakhir” Eagle Award Documentary Competition

Oleh VIKRI, BISRI, IRHAM, AINUR, UMMU

"ORANG tua mana yang melarang anaknya menebun di kebun sendiri, tapi kamu malah pergi," kata Datuk Duli pada Anjol, anak sulungnya yang telah menjual pohon di 3 kebun dan 3 sungai miliknya ("Tanah Terakhir", Eagle Award Documentary Competition, 2008).

Adalah sorang Datuk Duli, pemangku adat Suku Dayak Ntuka, pedalaman Kalimantan Barat yang teguh memegang prinsip tetap mempertahankan kebun miliknya dan mengambil manfaat dari kebun tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, ironisnya, prinsip itu bahkan menerima perlawanan dari anak sulungnya sendiri, Anjol.

Anjol nekat menjual pohon di 3 kebun dan di 3 sungai meski tanpa izin ayahnya, Datuk Duli. Anjol melakukan hal tersebut karena terhimpit oleh beban hidup. Meski ternyata, hasil penjualan tersebut hanya bisa dibelikan 1 buah TV, 1 DVD Player, 1 parabola, mesin penebang kayu dan generator set. Dan hasil lainnya, Anjol bahkan tak bertegur sapa dengan Datuk Duli selama 2 tahun. Lalu tinggal menyendiri dan membangun rumah di dalam hutan.

Kearifan vs Kebutuhan Perut

Film dokumenter berdurasi 15 menit garapan Rahmawati dan Esti Asmalia ini, menggambarkan sebagian kecil potret masyarakat pedalaman yang berjuang antara mempertahankan kearifan local (local wisdoms) ditengah himpitan kebutuhan ekonomi. Kearifan local bertabrakan dengan modernitas, yang bahkan dapat merugikan masyarakat sendiri, yaitu kerusakan alam. Masih banyak Datuk Duli dan Anjol lain di belahan lain Indonesia. Hanya saja luput untuk didokumentasikan.

Kesulitan mempertahankan kearifan jelas sekali tercermin dari kekecewaan Datuk Duli pada perilaku Anjol. Datuk Duli yang menginginkan kebun dikelola sebagaimana mestinya justru malah dijual dengan harga yang tidak pantas. 1 kubik kayu dibeli dengan harga Rp. 6000 padahal 1 kg gula seharga Rp. 10.000. Ironis memang…

Bagian Terlewat

Tanah terakhir, sebagai film documenter memang cukup baik menampilkan konflik dalam lingkup kecil yaitu keluarga. Sempat dikemukakan secara implisit bahwa tantangan mempertahankan kearifan local bukan hanya datang dari keluarga Datuk Dule, tetapi juga dari pendulangan emas dengan menggunakan mesin mekanik yang menyebabkan tercemarnya air sungai. Namun, ini kurang dikuatkan secara visual, yang ditampakkan adalah aktifitas pendulangan dengan alat sederhana saja.

Keluarga sebagai pondasi

Terlepas dari sedikit kekurangan, “Tanah Terakhir” yang berdurasi 15 menit itu, cukup memberi pelajaran kita. Bahwa perubahan mendasar bisa dilakukan dari unit paling kecil dalam tatanan masyarakat yaitu keluarga. Bagiamanapun, komunitas pertama yang dikenal individu adalah keluarga. Nilai-nilai positif tentang kearifan local, kecintaan terhadap lingkungan dan kemauan untuk menjaganya dapat ditanamkan sedari dini.

Film ini juga cukup mewakili potret sebagian besar masyarakat kita. Dengan film ini, semoga pemangku kebijakan lebih sadar lagi bahwa kearifak local harus tetap dipertahankan. Jangan sampai kearifan local ini justru tergerus oleh modernitas yang sama sekali tidak sensitif dengan alam. Akhirnya, jangan hanya bisa menebang tanpa pernah menanam kembali.***

Penulis adalah Komunitas Pecinta Alam, MAN Tlogo-Blitar, Jawa Timur.

No comments: