Thursday, October 9, 2008

Kampung Bahake

Suatu Hari di Pedalaman Kalimantan Barat

Foto By Tony Trimarsanto

INI CERITA tentang sebuah kampung yang mungkin tidak ditemukan dalam peta atau google earth sekalipun. Kampung yang mengajari kami untuk kembali pada kesederhanaan hidup dan kedekatan dengan alam. Sebuah tanah dimana nenek moyang kami lahir dan berjuang. Tanah yang sudah menghidupi kami selama ini. Tanah yang telah kami khianati. Begitu banyak yang kami ambil dari tanah ini. Air, tanah, emas, semuanya. Lalu apa yang kami berikan untuk tanah ini? Hanya tanah tandus, bukit-bukit gundul dan air yang tercemar. Lima, sepuluh, limabelas tahun lagi mungkin tidak ada lagi yang tersisa dari tanah ini. Hanya sebuah cerita tentang Tanah Terakhir...

Pagi itu matahari belum tinggi benar. Kabut masih menyelimuti kampung dan bergumul dengan tegakan pohon di bukit. Beberapa orang mulai sibuk beraktivitas. Mandi, mencuci dan menjala ikan menjadi gambaran rutinitas pagi hari masyarakat di tepi Sungai Bahake. Suara speedboat sesekali terdengar melintas, kalah dengan deru mesin penyedot emas yang – meski dilarang penggunaannya – masih saja beroperasi menambang emas. Bau karet menyengat melengkapi suasana jalan kampung yang belum di aspal dan dipenuhi dengan jemuran padi. Anak-anak dengan seragam putih merah berangkat menuju sekolah. Wajah-wajah lugu itu nampak riang, meski harus berjalan tanpa alas kaki dan pakaian seragam putih mereka berangsur menjadi coklat muda. Anjing dan ayam yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat ikut sibuk berkeliaran, mengikuti kemana tuan mereka pergi.

Adalah Kampung Bahake yang terletak di ujung Sungai Pawan, salah satu anak Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Tidak mudah untuk mencapai kampung dengan mayoritas etnis Dayak Ntuka ini. Dari pontianak, kita harus menuju Ketapang terlebih dahulu, lalu meneruskan perjalanan dengan speed boat selama kurang lebih 8 jam. Meski cukup beresiko, Bahake dapat pula dijangkau dengan jalan darat. Tapi jangan harap ada jalan aspal, hanya jalan tanah berwarna merah yang becek dan licin jika musim hujan tiba.

Tidak jauh dari tepi jalan, terdapat sebuah kompleks kuburan adat. Bentuknya menyerupai rumah panggung berbahan dasar kayu. Makin tinggi status sosialnya, makin bagus pula bentuk kuburannya.

Pencaharian masyarakat pada umumnya adalah berladang, menoreh karet dan mencari emas. Sebelum tahun 2007, kerja kayu (menebang kayu, red) menjadi primadona penyokong perekonomian sebagian besar masyarakat Bahake. Tapi sejak razia kayu besar-besaran tahun 2007 mereka lebih memilih menoreh karet dan menambang emas karena cukong yang biasanya menadah hasil tebangan harus berurusan dengan pihak berwajib. Tidak heran kalau rakit dan tumpukan kayu di tepi sungai menjadi pemandangan biasa. Beruntung mereka masih bisa mengandalkan hasil dari tembawang¹ untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain berladang, masyarakat juga menambang emas. Baik secara tradisional dengan menggunakan dulang atau semi-mekanik dengan menggunakan mesin sedot atau kompressor. Pertambangan dengan menggunakan mesin dompeng dilarang penggunaannya karena dianggap mencemari air sungai. Pada penggunaan kompressor, emas dan pasir dipisahkan dengan menggunakan air raksa. Unsur ini membahayakan kesehatan karena dapat menyebabkan kanker. Jika terkena kulit, akibat yang langsung muncul biasanya adalah gatal-gatal dan kulit kemerahan.

Terdapat sebuah perusahaan perkayuan yang beroperasi sejak 4 (empat) tahun terakhir. Wilayah konsesinya berbatasan langsung dengan Kampung Bahake. Entah sudah berapa bukit yang dihabiskan oleh perusahaan ini. Tiap musim penghujan tiba, air limpasan permukaan dari jalan tanah perusahaan mencemari Sungai Bahake, membuat masyarakat kesulitan air bersih. Untuk kebutuhan air minum, mereka harus mengalirkan air dari bukit lewat paralon untuk mendapatkan air.

Memang, dekat dengan sumber daya alam tidak lantas membuat kehidupan masyarakat Kampung Bahake layak dari segi fasilitas umum. Justru sebaliknya. Kampung ini bahkan belum tersentuh oleh listrik, apalagi sinyal telepon. Puskesmas terdekat kampung ini ada di kota kecamatan kurang lebih 1 jam dengan speedboat. Fasilitas pendidikannya juga minim. Beruntung kampung ini punya sebuah sekolah dasar, meski hanya satu unit. Di ujung kampung berdiri sebuah sekolah dasar dengan 3 ruang kelas. Papan kayu bercat putih dengan tulisan hitam itu bertuliskan Sekolah Dasar Negeri 13 Bahake. Sekolah yang berbentuk rumah panggung ini memiliki dua ruang untuk belajar mengajar dan satu ruang lagi untuk ruang serbaguna. Satu ruang kelas dipergunakan oleh kelas 2, 3 dan 4 secara bersamaan. Sementara kelas 1, 5 dan 6 memanfaatkan ruang lainnya. Koleksi buku ajar juga seadanya. Tenaga pengajar hanya 3 orang, itupun jarang berada ditempat. Kalau sudah demikian, anak-anak lebih sering bermain sepak bola di halaman sekolah.

Sebagaimana kampung dayak pada umumnya, Bahake masih cukup kental dengan ritual adat. Ritual ini bisa dijumpai dalam tiap prosesi perladangan. Maklum, perladangan adalah urat nadi perekonomian masyarakat dayak. Dari ladang kebudayaan mereka tumbuh dan dari ladang pula mereka hidup.

¹tembawang: kebun bekas perladangan gilir-balik yang ditanami dengan pohon hutan (tanaman kayu keras) dan pohon buah-buahan. ***

No comments: