Friday, October 17, 2008

Surat Kedua untuk mu Sahabat Bumi

Resensi untuk film Tanah Terakhir

Oleh DIAN PURBA

SESUATU yang kelihatan atau dapat dilihat mata tidak bisa dipisahkan dari yang tidak kelihatan. Artinya ada sesuatu yang tidak kelihatan dibelakang yang kelihatan.

Mari kita gunakan teori di atas untuk mengapresiasi film sahabat kita: Tanah Terakhir.

Ketika tiga bukit meregang nyawa disayat tajamnya mata rantai chainsaw demi melanjutkan hidup keluarga , ketika sebatang pohon berganti fungsi menjadi alat pembayaran, ketika anak-anak di “negeri merdeka” menganggap menenteng buku dan menulis “Ini budi” sebuah mimpi, ketika anak dan orangtua tidak akur karena hal “sepele”, siapa yang harus disalahkan? Atau siapa yang salah? Atau siapa yang bertanggung jawab.

Kita tinggal di tanah yang sudah dimerdekakan. Kita tinggal di tanah yang sudah didaulatkan. Kita tinggal di tanah yang selalu dipuja orang. Kita tinggal di negeri tempat kelapa menyiur dan ombah menderu. Kita tinggal di tanah undang-undang menjamin semua yang baik untuk warganya.

Tanah Terakhir mewakili semua kenyataan di negeri ini untuk mengatakan TIDAK terhadap semua yang kelihatan baik namun busuk di dalamnya. Kita harus berani berkata tegas: negara gagal.

Inilah yang tidak terlihat mata atau sengaja tidak diperlihatkan. Pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan: semuanya sudah dijamin undang-undang. Tidak ada kompromi untuk itu.

Tanah Terakhir menghadirkan kenyataan pahit itu. Rahma dan Esti sudah membuktikan diri dan berani berdiri menentang semua yang kita anggap selama ini sebagai sebuah kewajaran. Mereka menjadikan kamera sebagai alat untuk tidak selalu menunggu “sang kuasa” bertindak demi bumi. Satu hati selamatkan bumi untuk kehidupan generasi mendatang.

No comments: